Kamis, 19 Mei 2011

Ciri Ciri Orang Yang Selalu Merendahkan Hatinya

Rendah hati mungkin adalah sebuah kata yang hampir hilang dari perbendaharaan bahasa kita. Hampir setiap hari kita mendengar atau menyaksikan betapa para pemimpin kita, para elite politik dan pejabat publik menunjukkan arogansi kekuasaan atau jabatannya. Pertikaian politik di antara para pemimpin sesungguhnya telah memberi gambaran yang jelas tentang betapa mereka sungguh merasa dirinya paling benar, paling mewakili rakyat, dan paling mengerti persoalan.


Demikian halnya dengan para pakar dan pengamat politik, ekonomi dan sosial. Semuanya berlomba-lomba untuk memberikan komentarnya kepada publik dengan rasa diri paling benar dan orang lain paling salah. Kita memang tidak perlu mengatakan bahwa saudara kita itu tinggi hati, sombong, high profile, arogan, selalu ingin dihormati dan diistimewakan, tidak mau mendengar, tidak mau melayani, karena hal itu sama dengan kita juga tidak memiliki keren dahan hati.
Kerendahan hati merupakan salah satu bahan (ingredients) yang paling penting dalam karakter seseorang yang telah menemukan jati dirinya, di samping integritas, pasrah, rela memaafkan dan pengendalian diri. Mengenai topik integritas, dan rela memaafkan telah dibahas dalam rubrik Mandiri beberapa waktu yang lalu. Sedangkan topik pasrah akan dibahas dalam edisi mendatang.
Kerendahanhati juga merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD terhadap 800-an manajer perusahaan yang mereka tangani selama 25 tahun, salah satu kesimpulannya adalah bahwa para pemimpin yang berhasil membawa perusahaan atau organisasinya ke puncak kesuksesan biasanya adalah orang yang memiliki integritas, mampu menerima kritik, rendah hati, dan mengenal dirinya dengan baik. Para pemimpin yang sukses ini ternyata memiliki kecerdasan spiritual yang jauh lebih tinggi dari manusia rata-rata. Mereka justru adalah manusia yang rendah hati.
Berikut ini adalah sejumlah karakteristik atau ciri-ciri dari seseorang yang memiliki sifat rendah hati. Jika kita memiliki salah satu saja dari ciri-ciri ini, berarti kita memiliki kecerdasan spiritual yang lebih baik dibanding kita tidak memilikinya.

Mau Melayani
Dalam edisi yang lalu kita telah membahas mengenai arti kepemimpinan sejati, yaitu kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Ciri ini hampir jarang ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia lebih cenderung ingin dilayani, diberi hak-hak istimewa, diutamakan dan dihormati. Bahkan menurut Dale Carnegie, salah satu prinsip dasar dalam menangani manusia adalah membuat orang lain merasa penting. Karena pada dasarnya setiap individu ingin merasa dirinya penting, diutamakan dan dihormati.
Dalam edisi yang lalu kita memberikan sebuah contoh yang menarik tentang wakil rakyat yang enggan turun ke wilayah yang dilanda bencana banjir. Kita melihat betapa angkuhnya para politisi dan pemimpin kita tersebut yang tidak bergeming sekalipun rakyatnya menderita akibat bencana banjir. Kepemimpinan justru sering diartikan dengan jabatan formal, yang justru menuntut untuk mendapat fasilitas dan pelayanan dari konstituen yang seharusnya dilayani. Bahkan hampir tidak ada pemimpin yang sungguh-sungguh menerapkan kepemimpinan dari hati, yaitu kepemimpinan yang melayani.
Sifat mau melayani dimulai dari dalam diri kita. Mau melayani menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Hal tersebut dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani orang lain. Kembali kita diingatkan bahwa sifat mau melayani berarti memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dilayani. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari orang lain yang membutuhkan pelayanannya.

Memandang Setiap Individu Unik, Istimewa dan Penting
Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif. Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung.
Jika apa yang anda pikirkan mengenai orang lain berubah, maka sikap dan tindakan mereka terhadap anda juga akan berubah. Karena manusia sangat sensitif satu sama lain dalam banyak hal, kita biasanya sangat peka terhadap apa yang dipikirkan oleh satu sama lainnya. Jika hubungan kita dengan isteri/suami, kekasih, teman, rekan bisnis, rekan kerja atau orang tua kita tidak sebagaimana kita harapkan, cobalah lihat lebih jauh ke dalam pikiran kita – apa yang sesungguhnya kita pikirkan saat ini tentang orang tersebut. Orang seperti apa (suami/isteri, kekasih, sahabat, rekan) yang kita ciptakan dalam bawah sadar kita. Kita pasti memiliki hal-hal atau gambaran yang sangat negatif atau jelek tentang seseorang tersebut.

Mau Mendengar dan Menerima Kritik
Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.
Demikian halnya dengan kritik, harus senantiasa dipandang sebagai sarana untuk kita belajar dan bertumbuh. Kritik harus kita pandang sebagai bahan baku kita untuk mengembangkan diri, bukan untuk menunjukkan kita salah atau benar. Apapun bentuk dan cara penyampaian kritik harus senantiasa kita pandang positif dalam proses pembelajaran yang berlangsung terus menerus dalam hidup kita. Banyak sekali dari kita yang memandang kritik sebagai hal yang pribadi yang menunjukkan kelemahan dan kegagalan kita. Padahal sebaliknya kritik justru menunjukkan kemenangan dan kedewasaan kita dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan.

Menang Tanpa Ngasorake, Ngalah Tapi Ora Kalah
Ada peribahasa Jawa yang mengatakan : ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, lan sugih tanpa bondo. Artinya menyerang tanpa pasukan, menang tanpa harus menindas dan kaya tanpa harta. Filosofi yang terkandung di dalamnya menunjukkan kerendahan hati yang sangat dalam. Dalam mengkritik atau memenangkan suatu persaingan kita tidak perlu menunjukkan kehebatan maupun memamerkan apa yang kita miliki, bahkan ketika kita menang sekalipun tidak ada rasa pamer atau kesombongan yang terlihat. Falsafah ini sungguh merupakan gambaran yang sangat jelas tentang arti rendah hati.
Sebaliknya, jika kita harus mengalah demi kebaikan ataupun jika kita kalah dalam suatu pertandingan atau persaingan kita tidak boleh merasa gagal atau dikalahkan. Kekalahan atau kegagalan adalah bagian dari proses menuju kesuksesan atau kemenangan. Jangan hanya melihat hasil pada satu dimensi waktu tertentu, tetapi kita harus menikmati proses, karena orang bijak mengatakan success is a journey not a destination.

Berani Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf
Salah satu ciri manusia rendah hati adalah senantiasa berani mengakui kesalahan dan meminta maaf jika melakukan kesalahan atau menyinggung perasaan orang lain. Manusia rendah hati adalah manusia yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Bedakan dengan mereka yang senantiasa peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Orang seperti ini bukan rendah hati, tetapi rendah diri atau tidak memiliki rasa percaya diri, sehingga dia selalu khawatir dengan apa yang akan dipikirkan atau dikatakan orang lain tentang dirinya.

Rela Memaafkan
Rela memaafkan merupakan ciri seseorang yang rendah hati. Bahkan dalam setiap agama dikatakan bahwa kita harus mau mengampuni kesalahan sesama kita, karena Tuhan juga mau mengampuni dosa-dosa kita. Sifat ini justru tidak kita temui dalam keseharian kita. Masih banyak dari kita yang tidak dapat memaafkan orang lain dan senantiasa hidup dalam dendam dan sakit hati. Dalam edisi Mandiri yang membahas tentang topik ini, kita justru diingatkan bahwa dengan tidak rela memaafkan, kita justru membiarkan diri kita digerogoti oleh perasaan dendam dan sakit hati yang menimbulkan berbagai penyakit baik fisik maupun kejiwaan.
Rela memaafkan justru lebih ditujukan kepada kepentingan diri kita sendiri, untuk menghindarkan kita dari sakit penyakit dan tekanan dalam kehidupan kita.

Lemah Lembut dan Penuh Pengendalian Diri
Ciri yang jelas dari orang yang rendah hati adalah sikapnya yang lemah lembut (gentle) dan penuh pengendalian diri (self control). Dia tidak pernah membiarkan emosinya tidak terkendali dan lepas kontrol.
Dia tidak menunjukkan kemarahan dengan sikap kasar, kata-kata yang tidak baik, atau melakukan tindakan fisik. Kemarahan dia tunjukkan dalam rangka mendidik orang lain. Kemarahan atau kekecewaan yang dirasakan senantiasa dapat dia kendalikan sepenuhnya, dalam arti bukan diluapkan (expressed), bukan pula dilupakan, diacuhkan atau ditahan (supressed), tetapi dilepaskan dengan pasrah (released).
Ini merupakan ketrampilan spiritual yang sangat tinggi, dan nanti akan secara khusus dibahas dalam topik Pasrah.

Mengutamakan Kepentingan Yang Lebih Besar
Kembali kita diingatkan (melalui edisi yang lalu) bahwa tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya.
Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya.
Entah hal ini sebuah impian yang muluk atau memang kita tidak memiliki pemimpin seperti ini, yang jelas pemimpin yang mengutamakan kepenting an publik amat jarang kita temui di republik ini.
Seorang yang rendah hati justru senantiasa mengutamakan kepentingan dan nilai yang lebih besar dibandingkan kepentingan pribadi ataupun golongannya. Sedangkan yang sering kita amati, justru para pemimpin, wakil rakyat dan politisi lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Demikian catatan kami mengenai sifat rendah hati, yang semoga dapat menjadi bahan renungan kita sekalian dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks yang lebih sempit adalah untuk kita saling mendahului dalam memberi hormat dan menyatakan kasih kita kepada sesama kita.
Sekian Dan Semoga Bermanfaat... Amiiin...

Kamis, 12 Mei 2011

Kisah Orang Munafik Di Zaman Rasulullah

Kisah ini disampaikan oleh sahabat Ibnu umar Radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Kaeb Radhiallahu ‘anhu, Zaid bin Aslam Radhiallahu ‘anhu dan Qatadah Radhiallahu ‘anhu berkata (ringkasnya demikian): Ada seorang laki-laki (munafik) pada waktu perang Tabuk dia berkata: “Tidaklah kami melihat semisal Qurra’ (pembaca al-Qur’an) kita ini, mereka paling besar perutnya (karena banyak makan), paling pendusta (ketika berbicara), paling penakut (bila berhadapan dengan musuh).” Perkataan itu ditujukan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Mendengar hal tersebut Auf bin Malik Rahimahullah berkata kepadanya: “Bohong kamu, akan tetapi kamu munafiq, sungguh aku akan memberitahu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.” Maka pergilah Auf untuk menjumpai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan memberitahu perkataan orang munafiq ini.

Belum sampai Auf bin Malik datang menjumpai beliau, telah turun ayat yang memberitahu keadaan tersebut dengan sebenarnya.

Yaitu ayat yang terdapat dalam QS. At-Taubah [9]: 65-66, yang artinya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”

Selanjutnya orang munafiq itu datang menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan waktu itu beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Orang munafiq itu berkata: “Wahai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, sebenarnya kami hanya bersenda gurau. Kami berbicara layaknya orang yang berbicara saat naik kendaraan, agar kami tidak merasa capai di dalam perjalanan.”

Melihat apa yang terjadi Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu kemudian bercerita: “Seolah-olah aku melihat dia (orang munafiq itu) sedang menggantungkan tangannya di tali unta Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dua kakinya tertindih dengan batu. Dalam kondisi seperti itu dia berkata, ’Wahai Nabi, Maafkan kami, kami hanya bersenda gurau dan main-main.”

Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan membacakan ayat (yang artinya): “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok- olok?”

Kemudian beliau tidak melihat kepada orang munafiq ini dan tidak berbicara lagi kecuali ayat diatas.

Maka hati-hatilah jangan sekali-kali mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Nabi-Nya, baik sengaja maupun tidak! (Sumber: Tafsir Imam Ibnu Jarir 10/119~taken from kisahislam.com)